Untuk apakah sebenarnya senjata dan peluru-peluru itu dibuat?
Ada yang mengatakan untuk pertahanan sebuah negeri, membela tanah air, melawan musuh, dan lain sebagainya. Jawaban semacam itu tentu maklum, berarti dengan adanya senjata sebuah negara bisa aman dari ancaman musuh. Tanpa armada perang dengan persenjataan nan matang, sebuah negara tidak dipandang berdiri karena tidak memenuhi konsep sebuah negara merdeka. Untuk itu, setiap negara punya armada militer, punya senjata canggih, dan juga tentara berbadan tegap.
Namun, dibalik senjata yang diciptakan untuk keamanan, selalu saja ada kisah penembakan yang salah sasaran. Seperti terjadi di Surabaya tiga hari yang lalu: aparat keamanan yang sedianya mengejar pengedar narkoba, peluru yang ditumpahkan mengenai mahasiswi. Tragis, seseorang yang tidak bersalah, terkena imbas. Untung saja, nyawa si gadis tidak melayang karena tidak mengenai bagian vital. Dan akhirnya, mahasiswi tersebut dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Peluru, sebenarnya merupakan benda tidak bersalah. Senjata pun begitu. Tetapi kehadirannya merupakan ketidakamanan bagi yang lain, atau bahkan ancaman.
Mungkin pada awalnya, sang penemu senjata pertama berpikir, temuannya akan berguna untuk melindungi bangsa. Tetapi nyatanya, hal itu juga berarti bakal ada yang terbunuh membunuh. Sebagaimana peluru-peluru itu diproduksi, ini juga berarti akan ada kepala yang moncrot berlumuran darah. Dorr… tertembus oleh benda kecil berkekuatan penuh —nyawa melayang. Persis seperti film yang kemarin saya tonton.
Kemarin, saya baru saja menonton film tentang senjata, Lord of War. Film lawas. Film yang dibintangi oleh Nicolas Cage ini bercerita tentang perjalanan seorang pemasok peluru dan senjata gelap bernama Yuri Orlov. Dalam perjalanan karirnya, ia hanyalah sebagai penjual yang santun: memuaskan pembeli. Walaupun kadang-kadang, pembeli bersikap tidak menyenangkan, tetapi ia selalu berhasil memperoleh uang.
Pernah suatu ketika, setelah bertransaksi, ia dan adiknya, Vitaly, malah ditembaki pembeli. Uang berhasil transaksi pun berhamburan. Vitaly marah. Tetapi Yuri berhasil mencegah emosi adiknya itu. Ia sadar, bertransaksi senjata akan berisiko tinggi bagi keselamatan dirinya.
Film yang konon merupakan kisah nyata itu berkisah tentang perjalanan Yuri dengan senjata-senjata gelapnya keliling dunia, bertransaksi dengan para tentara, mafia, maupun pemberontak. Tak ayal, dari transaksi dengan berbagai kalangan itu membuat ia pandai dan berpengalaman.
Pernah suatu ketika, ketika membawa barang dagangan itu di atas kapal besar, beberapa kelompok patroli mencurigai bahwa kapal yang ditumpanginya memuat barang terlarang. Namun ia punya trik. Tanda kapal diubah namanya diganti menjadi lebih “bersahabat”. Ia pun lolos.
Setiap transaksi yang dilakukan Yuri hampir selalu berjalan mulus, sehingga menjadikan pemuda asal Ukraina itu sukses dan kaya. Ia pun kemudian mengadu nasib ke Amerika, menikah dengan seseorang yang ditemui di sebuah pantai. Beruntung, saat menginjakkan kaki ke Amerika, ternyata bisnis perdagangan senjata gelap sedang marak-maraknya.
Tapi, seperti pepatah bisnis, kesempatan meraih keuntungan tinggi selalu berbanding lurus dengan resiko yang akan dihadapi. Apalagi bisnis yang dijalankan Yuri, termasuk bisnis yang berbahaya.
Suatu hari, ia bersama adiknya kemudian bertransaksi dengan Andre Baptiste, seorang diktator berkulit gelap asal Liberia, Afrika. Di sebuah tempat berdebu, proses deal pembelian senjata dilakukan. Dari tempat itu, ketika proses deal Yuri dengan pihak pembeli, adik Yuri menyaksikan sebuah peristiwa yang menakutkan: seorang ibu dan anak dibantai menggunakan golok. Begitu kejam… Kemudian ia tahu, bahwa senjata itu akan digunakannya untuk membantai ibu-ibu dan anak-anak di suatu tenda.
Vitaly tak tega, satu truk berisi senjata ia ledakkan. Yuri kaget, karena peristiwa itu harus dibayar dengan nyawa adiknya sendiri.
Akankah proses jual beli senjata terus berjalan? Ia tahu bahwa dirinya tidak ada pilihan. Kalau diteruskan ia akan aman, walau nyawa adiknya tidak kembali. Kalau ia membatalkan, itu sama saja dengan kematian baginya.
Yuri, akhirnya terlacak oleh agen Interpol dan terancam hukuman penjara. Inilah hasil jerih payah yang selama ini telah ia bangun: kehilangan seluruhnya –ditinggal istri, anak-anak, dan adiknya tewas di tangan pembeli.
Pebisnis gelap, bagaimana pun adalah pebisnis gelap. Kecurangan dalam berbisnis kerap mewarnai setiap transaksi. Sebagaimana senjata, bagaimana pun tetap senjata. Di balik moncongnya —dengan alasan tidak konkret— untuk mempertahankan bangsa, nyatanya ia juga digunakan untuk tindak kriminal. Bisa juga, disalahgunakan untuk saling adu tembak antar aparat TNI-Polisi yang terjadi beberapa waktu lalu. Padahal, keduanya sama-sama mempunyai tugas yang serupa.
Nah, di zaman kemajuan dan penuh kebersamaan, apakah peluru dan senjata masih perlu untuk diproduksi kalau nyatanya untuk “hal-hal bodoh”?